Tahukah kamu sekarang ini bumi dalam keadaan sekarat? Pemanasan global (Global warming) yang sering disebut-sebut dan diprediksi akan menimpa bumi, sekarang sudah hampir mendekati kenyataan.
Semakin lama bumi semakin mendekati kehancuran, namun para manusia masih belum menyadari kehancuran tersebut.
Memang pemanasan global itu masih banyak dipertanyakan orang banyak. Apakah akan terjadi atau tidak. Tetapi bukankah lebih baik menghindarinya?
Suka atau tidak suka, kita harus menghadapi kenyataan bahwa bumi sudah di ambang maut. Keteledoran manusia membuat umur bumi berkurang. Mengapa saya menyebutnya begitu? Karena apabila ditilik lebih lanjut, kita dapat menemui banyak berita mengenai bencana alam. Mulai dari gempa bumi, banjir, tanah longsor, dan masih banyak lagi yang lain.
Beberapa ahli memprediksikan bahwa beberapa negara di bumi ini akan tenggelam akibat mencairnya es di Kutub Utara. Bahkan di Indonesia sendiri diprediksikan bahwa air laut akan meluap hingga setinggi Monas pada tahun 2040.
Belum lagi atas kesalahan manusia, terciptalah kota Lumpur, yang sebenarnya adalah kota Sidoarjo. Lumpur panas dari PT Lapindo Brantas telah menimbulkan kerugian fisik dan materi. Sekarang daerah ini telah lumpuh total dan tenggelam layaknya kota yang sudah mati.
Peningkatan Suhu Udara
Mungkin anda menduga, udara yang akhir-akhir ini semakin panas, hujan ataupun badai yang terjadi secara terus-menerus terjadi bukanlah suatu masalah yang perlu kita risaukan.
“Mana mungkin sih tindakan satu dua makhluk hidup di jagat semesta ini bisa mengganggu kondisi planet bumi yang mahabesar ini?” barangkali begitulah anda berpikir.
Baru-baru ini, Inter-governmental Panel on Climate Change (IPCC) mempublikasikan hasil pengamatan ilmuwan dari beberapa negara. Isinya sangat mengejutkan. Selama tahun 1999 - 2005, ternyata telah terjadi peningkatan suhu merata di seluruh bagian bumi, antara 0,15 – 0,3 derajat Celcius.
Jika peningkatan suhu itu terus berlanjut, diperkirakan pada tahun 2040 (31 tahun dari sekarang) lapisan es di kutub-kutub bumi akan habis meleleh. Dan jika bumi masih terus memanas, pada tahun 2050 akan terjadi kekurangan air tawar, sehingga kelaparan pun akan meluas di seantero jagat.
Udara akan sangat panas, jutaan orang berebut air dan makanan. Napas tersengal oleh asap dan debu. Rumah-rumah di pesisir terendam air laut. Luapan air laut makin lama makin luas, sehingga akhinya menelan seluruh pulau. Harta benda akan lenyap, begitu pula nyawa manusia.
Di Indonesia, gejala serupa sudah terjadi. Sepanjang tahun 1980 – 2002, suhu minimum kota Medan meningkat 0,17 derajat Celcius per tahun.
Sementara, Denpasar mengalami peningkatan suhu maksimum hingga 0,87 derajat Celcius per tahun. Tanda yang kasat mata adalah menghilangnya salju yang dulu menyelimuti satu-satunya tempat bersalju di Indonesia, yaitu gunung Jayawijaya di Papua.
Hasil studi yang dilakukan ilmuwan di Pusat Pengembangan Kawasan Pesisir dan Laut, Institut Teknologi Bandung (2007), pun tak kalah mengerikan. Ternyata permukaan air teluk Jakarta meningkat setinggi 0,8 cm. Pola hujan dan salju pun berubah, mengubah pola siklus hidrologi, mengganggu suplai air bersih.
Semua fenomena di atas berkaitan dengan efek rumah kaca (greenhouse effect). Ilustrasinya begini. Andaikan kita berada di dalam mobil, di bawah panas matahari. Akan terasa ada peningkatan panas apalagi ditambah dengan CO2 hasil pernapasan kita. Makin banyak orang di dalam mobil, makin cepatlah terasa panas.
Atmosfer bumi pun dapat diserupakan dengan atap kaca yang tembus cahaya sehingga sinar matahari dapat masuk dan sampai ke permukaan bumi lalu dipantulkan kembali ke atmosfer. Hanya saja, pantulan sinar inframerah (gelombang panjang) dihalangi gas rumah kaca sehingga berbalik memantul ke bumi.
Inilah yang meningkatkan panas muka bumi.
Jika demikian, jahatkah efek rumah kaca? Tidak! Sebab secara alamiah efek ini menguntungkan, karena temperatur bumi menjadi hangat. Efek yang dikendalikan oleh gas beratom dua atau lebih ini menyerap inframerah di troposfer.
Masalahnya konsentrasi CO2 dan gas lainnya terus meningkat sehingga pemanasan bumi menjadi tak terkendali. Temperaturnya terus naik dan diistilahkan dengan Global Warming (GW). Pada kasus ini kondisi bumi sudah lampu kuning dan tanda peringatan waspada (warming) telah menyala.
Tanggung Jawab
Siapa yang bertanggung jawab atas pemanasan global? Tentu saja semua negara. Namun jika dikaitkan dengan CO2, maka yang paling bertanggung jawab ialah negara industri, karena merekalah yang terbanyak mengemisi CO2. Sekadar contoh, emisi orang Amerika Serikat (AS) lima kali lebih besar daripada orang Meksiko, bahkan 19 kali lebih besar daripada orang India.
Walaupun hanya 20% orang tinggal di negara maju tetapi kontribusinya 63% dari total emisi. Memang betul, kalau dihitung berdasarkan negaranya, maka Chinalah pengemisi terbesar lantaran jumlah penduduknya memang terbanyak. Namun secara individu emisi tujuh orang China setara dengan satu orang AS. Tujuh orang setara dengan satu orang!
Terkait dengan CO2 tersebut, tanggung jawab terbesar haruslah dipikul oleh negara maju seperti AS. Sama sekali keliru membandingkannya dengan China dan India meskipun banyak penduduknya. Sebab, emisi gas rumah kaca khususnya C02 tidak berkorelasi linier dengan jumlah populasi secara langsung. Bisa saja penduduk suatu negara sangat banyak tetapi sebagian besar bergerak di sektor pertanian. Meskipun memang sektor pertanian juga menjadi kontributor gas rumah kaca, khususnya setelah panen.
Disitulah letak kekeliruan AS dalam menanggapi kesepakatan reduksi aktivitas ekonomi (industri dan transportasi). Padahal yang dideritanya juga dialami negara-negara maju lainnya. AS merasa protocol Kyoto adalah “penggusuran” terhadap aktivitas ekonominya sekaligus menentang Deklarasi Stockholm, sebuah komitmen besar tentang pembangunan industri ramah lingkungan. Juga melawan kesepakatan perlindungan lapisan ozon yang diputuskan pada konvensi Wina tahun 1985, sebagai “landmark” aksi lingkungan protocol Montreal tahun 1987 dengan serial amandemennya tahun 1990 di London, 1992 di Kopenhagen dan di Wina lagi tahun 1996.
Selain pemanasan global. Efek yang juga riskan ialah hujan asam (hujas) atau acid rain. Menurut Gorham, dengan kadar 0,03% C02 dari seluruh gas atmosfer maka derajat keasaman air hujan sekitar 5,7. pH-nya turun karena ada tambahan asam dari asam nitrat dan asam sulfat. Pada tahun 2007 ini, pH air hujan di Jakarta sudah 4 - 4,5. Di Denpasar pun sudah dipadati kendaraan umum, emitor C02. Tapi untung Denpasar dekat dengan Samudera Indonesia yang kuat hembusan anginnya sehingga mudah terjadi dispersi polutan udara.
Sebetulnya potensi pemanasan global oleh C02 tidaklah besar. Metana 21 kali lebih besar daripada C02. CFC malah 7.300 lebih besar daripada C02. Hanya saja karena kadar C02 sangat banyak maka gas inilah yang paling banyak kontribusinya pada pemanasan global yaitu 50%. Sumber gas rumah kaca itu ialah BBM (57%), CFC (17%), pertanian 14%, dan penebangan hutan 9%. Dulu protocol Montreal mewajibkan penghentian produksi CFC (chlorofluorocarbon) pada tahun 1996. Tetapi faktanya produk itu masih saja beredar. Untunglah pemerintah Indonesia telah berkehendak melarang impor CFC.
Opsi Solusi
Ada sejumlah upaya tindak yang dapat dilakukan . Diantaranya mengurangi emisi C02, mengurangi penebangan hutan (legal dan illegal). Menghentikan produk CFC lalu menggantinya dengan zat kimia ramah lingkungan. Mereduksi emisi metana dari sawah dengan mengurangi rendaman jerami, kurangi pembakaran biomassa, hindari pembakaran sampah (PLTSa ; pembangkit listrik tenaga sampah), termasuk kurangi pemakaian pupuk kaya nitrogen.
Yang dapat ditempuh juga ialah perluasan penggunaan energi angin (bayu, PLTB) seperti di Nusa Penida Bali, energi surya (PLTS), dan energi air (PLTA). Inilah potensi sumber energi masa depan dengan memanfaatkan sains dan teknologi. Energi biomassa juga boleh, asalkan jangan PLTsa (Sa ; sampah).
Sampai kapan kita akan terus merusak bumi? Apakah kita sudah mencoba untuk mencegah kehancuran tersebut? Apa yang telah saya lakukan untuk menghindari semua itu? Saya sendiri adalah manusia biasa.
Namun jangan berpikir hanya karena kita orang kecil dan sendirian, kita tidak bisa melakukan perubahan tersebut. Cobalah dari hal-hal yang paling kecil, seperti buang sampah pada tempatnya, kurangi penggunaan kantong sampah dari plastik, menghemat kertas, kurangi penggunaan listrik yang berlebihan, jauhi produk-produk yang dapat merusak lingkungan, tanam pohon di lingkungan sekitar, dan masih banyak lagi. Kemudian tularkan kebiasaan baik ini ke orang-orang sekitar anda. Niscaya kita bisa membuat perubahan. Semoga! Save The Earth From Global Warming!***